Rabu, 21 Mei 2014

Abstraksi Rasa Pedih

Merdunya gesekan sayap jangkrik mengalun merdu merangkul gelap yang menyelimuti malam ini. Yang kurasa hening, yang kurasa sunyi, yang kurasa kini hanya dingin yang menyelimuti raga ini, mungkin tidak lama lagi bisa membeku.

Aku tak tahu mengapa, dalam setiap helaan nafas yang kuhembuskan, aku merasakan sakit yang teramat dalam. Pedih dan pilu seperti menusuk-nusuk bagian terdalam dari paru-paruku. Sakit yang kurasakan bukanlah sakit sebenar-benarnya raga. Namun lebih kepada sebuah keambivalenan.

Entah, dalam setiap malam-malam yang hadir, aku selalu berharap bahwa mentari pagi yang menjemputku esok akan membawakan ku sejuta cerita bahagia yang mengukir senyum utuh diwajahku maupun di hatiku. Tapi tetap saja, diantara semua tawa yang berhasil ku petik, ada sesuatu yang tetap mengganjal. Setahun belakangan ini, Tuhan sepertinya mengujiku dengan sengaja merangkai benang-benang rapuh untuk hidupku.



Teman-teman, pernahkah engkau membayangkan jika udara dingin malam terus menyapu wajahmu yang terus berharap bahwa cahaya sang surya akan menghangatkan segalanya ? Pernahkan teman-teman merasa hidup ini telah sampai pada titik terjenuhnya ? Titik paling lelah dalam menghadapi suatu ujian, pernahkah ? Titik dimana rasa jenuh, rasa jengah, membuncah melewati nadi dan kepalamu. Ingin mengungkapkan segalanya pada langit, namun mulut sudah tak mampu lagi menampung seberapa banyak yang akan disuarakan. Hanya peluh yang menetes berbarengan dengan air mata membasahi kulit. 

Ada sesuatu yang hilang, ada kebahagiaan yang kini sedang terselimuti kabut abu-abu. Entah sampai kapan akan kembali seperti semula. Bumiku terasa benar-benar rapuh sebagian sejak hari itu. Tangan yang menengadah ke atas tak henti-hentinya mengucap doa, namun kesabaran lebih menekankan pada kata sabar yang sesungguhnya, sabar yang tanpa batas kecuali kau yang membatasinya.

Hidup ini terlalu lucu, telah banyak hal yang kukorbankan walau letih walau lelah melanda. Karena kalau bukan aku, siapa lagi yang mampu menjalankan segalanya ? Beban yang menggantung sudah bertambah dua kali lipat. Kini dalam tak berdayanya kaki ini untuk melangkah, dalam lemahnya tubuh yang rapuh, segalanya benar-benar terasa sakit, lumpuh. Aku ternyata sendiri, aku ternyata harus mandiri, aku ternyata adalah pion didalam permainan ini. Aku harus kuat kan ?

Biarlah, biar.
Cukup aku yang rasa dan Tuhan saja yang tahu betapa sesungguhnya pedih hati ini.
Biar Tuhan yang memulai, biar Tuhan yang menyudahi.
Mereka tak perlu tahu, biar saja mereka menerka-nerka.
Hanya yang benar-benar memahami yang akan mengerti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Thanks for your attention to read my blog article.
Please leave your comment here. ^_^