Rabu, 21 Mei 2014

Kau, Sosok Misteriusku

Dalam malam-malam yang menyelimuti ku dalam dingin.
Kini tak sedingin sunyi lagi kala sebuah sosok menghiasi ruanganku dengan hangatnya.
Anggap saja ia pelita, menerangiku.

Untukmu sosok yang kuanggap misterius hingga detik ini.
Yang wajahmu kutahu hanya dari gambar-gambar tak bergerak yang terpampang di dalam profil akun media sosialmu.
Yang suaramu saja ku tak tau seperti apa.
Yang tak pernah kuketahui bagaimana mimik wajahmu saat ini, sorot matamu juga seperti apa entahlah.
Berapa tinggimu, bagaimana aroma parfummu.
Ah, aku hanya bisa berkhayal disini, mereka-reka, mengira-ngira.
Rasa penasaran yang membuncah membuat sebuah cerita unik terangkai.

Hidup juga terlalu sinematik untuk di terjemahkan. 
Bagaimana bisa kita pernah berada disuatu tempat yang sama, lalu terpisah untuk waktu yang lama, lalu kita bertemu lagi disini, ditempat se-maya ini, dengan begitu akrabnya, seperti merangkai jejak-jejak kisah kita yang pernah hilang waktu itu. Memastikan bahwa kita pernah berada di tempat yang benar-benar dekat.

Kau seperti tinggal dibenua yang jauh, namun kita disini ternyata hanya terpisah oleh jalanan dan deretan rumah.Bisa saja kita bertemu dimanapun, ditempat tak terduga sekalipun.
Untukmu sosok maya yang nyata.
Untukmu yang mampu menjadikan sangat nyata bagaimana jemari yang menjadi mulut untuk berbicara dan mata sebagai telinga yang mendengar.

Biarlah aku menganggap bahwa layar komputer maupun layar handphone ku sebagai wajahmu. 
Menganggap bahwa menatap fotomu seperti menatap matamu, tegak lurus dihadapanku.

Karena kini kau telah menjadikan malam sebagai waktu yang paling aku tunggu-tunggu, waktu dimana kita saling bercerita. Mengurai hari ini, melepaskan segala ion negatif dan positif yang ditangkap oleh masing-masing radar milik kau dan aku. Ada banyak keseimbangan yang kutemui disana, membuat nya menjadi lebih baik.

Aku bisa lupa akan lelahku hari ini, aku bisa lupa bahwa ada masalah yang sedang aku hadapi dalam hidup ini. Aku, ah terima kasih ya. :)

Dan biar saja semua bergulir mengikuti ekor waktu, akan jadi apa cerita kita nantinya, itu urusan Tuhan saja lah. ^_^


Abstraksi Rasa Pedih

Merdunya gesekan sayap jangkrik mengalun merdu merangkul gelap yang menyelimuti malam ini. Yang kurasa hening, yang kurasa sunyi, yang kurasa kini hanya dingin yang menyelimuti raga ini, mungkin tidak lama lagi bisa membeku.

Aku tak tahu mengapa, dalam setiap helaan nafas yang kuhembuskan, aku merasakan sakit yang teramat dalam. Pedih dan pilu seperti menusuk-nusuk bagian terdalam dari paru-paruku. Sakit yang kurasakan bukanlah sakit sebenar-benarnya raga. Namun lebih kepada sebuah keambivalenan.

Entah, dalam setiap malam-malam yang hadir, aku selalu berharap bahwa mentari pagi yang menjemputku esok akan membawakan ku sejuta cerita bahagia yang mengukir senyum utuh diwajahku maupun di hatiku. Tapi tetap saja, diantara semua tawa yang berhasil ku petik, ada sesuatu yang tetap mengganjal. Setahun belakangan ini, Tuhan sepertinya mengujiku dengan sengaja merangkai benang-benang rapuh untuk hidupku.



Teman-teman, pernahkah engkau membayangkan jika udara dingin malam terus menyapu wajahmu yang terus berharap bahwa cahaya sang surya akan menghangatkan segalanya ? Pernahkan teman-teman merasa hidup ini telah sampai pada titik terjenuhnya ? Titik paling lelah dalam menghadapi suatu ujian, pernahkah ? Titik dimana rasa jenuh, rasa jengah, membuncah melewati nadi dan kepalamu. Ingin mengungkapkan segalanya pada langit, namun mulut sudah tak mampu lagi menampung seberapa banyak yang akan disuarakan. Hanya peluh yang menetes berbarengan dengan air mata membasahi kulit. 

Ada sesuatu yang hilang, ada kebahagiaan yang kini sedang terselimuti kabut abu-abu. Entah sampai kapan akan kembali seperti semula. Bumiku terasa benar-benar rapuh sebagian sejak hari itu. Tangan yang menengadah ke atas tak henti-hentinya mengucap doa, namun kesabaran lebih menekankan pada kata sabar yang sesungguhnya, sabar yang tanpa batas kecuali kau yang membatasinya.

Hidup ini terlalu lucu, telah banyak hal yang kukorbankan walau letih walau lelah melanda. Karena kalau bukan aku, siapa lagi yang mampu menjalankan segalanya ? Beban yang menggantung sudah bertambah dua kali lipat. Kini dalam tak berdayanya kaki ini untuk melangkah, dalam lemahnya tubuh yang rapuh, segalanya benar-benar terasa sakit, lumpuh. Aku ternyata sendiri, aku ternyata harus mandiri, aku ternyata adalah pion didalam permainan ini. Aku harus kuat kan ?

Biarlah, biar.
Cukup aku yang rasa dan Tuhan saja yang tahu betapa sesungguhnya pedih hati ini.
Biar Tuhan yang memulai, biar Tuhan yang menyudahi.
Mereka tak perlu tahu, biar saja mereka menerka-nerka.
Hanya yang benar-benar memahami yang akan mengerti.